Oleh : Amin Siahaan
Setelah tertunda hampir lima bulan, akhirnya Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Instruksi Presiden No.
10/2011 tentang Penundaan Pemberiaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata
Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Peraturan ini merupakan implementasi asas legal dari
Kesepakatan Oslo antara Indonesia dengan pemerintah Norwegia tentang
pengurangan emisi karbon. Sebagai kompensasinya, Norwegia bersedia
mengucurkan dana sebesar 1 miliar dolar untuk mendukung keberhasilan
perjanjian ini. Kesepakatan Oslo ditandatangani pada 26 Mei 2010 ketika
presiden SBY melakukan kunjungan ke Norwegia tahun lalu untuk menghadiri
Oslo Climate and Forest Conference.
Inpres yang ditandatangani SBY 20 Mei lalu itu secara
tegas memerintahkan mulai dari menteri sampai bupati/walikota untuk
menunda pemberian izin baru di kawasan hutan primer dan lahan gambut.
Namun, instruksi presiden ini tidak berlaku bagi empat kegiatan ekonomi
yang mendapatkan pengecualian yaitu, (1) kegiatan ekonomi yang
sebelumnya telah mendapatkan izin prinsip dari menteri kehutanan; (2)
kegiatan ekonomi vital seperti geothermal, minyak dan gas bumi, listrik,
padi, dan tebu; (3) perpanjangan izin pemanfaatan hutan sepanjang
izinnya masih berlaku, dan (4) untuk kegiatan restorasi ekosistem.
Pro dan Kontra
Sejak awal, kebijakan moratorium ini menimbulkan pro
dan kontra. Kalangan yang mendukung rencana moratorim, mengatakan
Indonesia tidak akan bekerja sendirian dalam mengurangi emisi gas
karbon, terutama yang berasal dari pembukaan hutan untuk kegiatan
ekonomi. Pengurangan gas emisi karbon adalah tanggung jawab bersama,
mengingat hasil eksplorasi hutan Indonesia tidak dinikmati oleh
Indonesia saja, tapi juga oleh negara-negara maju seperti Amerika
Serikat dan Eropa. Selanjutnya, dengan moratorium Indonesia akan
mendapatkan dana dari negara-negara industri, seperti Norwegia. Artinya,
pemerintah tidak perlu lagi memikirkan dari mana pendanaan untuk
pengurangan gas emisi karbon.
Sedangkan kelompok yang menolak terdiri dari dua
yaitu, kalangan pengusaha, khususnya pengusaha kelapa sawit, dan, kedua,
para aktivis dan LSM lingkungan. Pengusaha sawit menolak
moratorium/inpres karena, (1) moratorium akan mengurangi jumlah produksi
sawit nasional. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menyebutkan Indonesia akan kehilangan 2
juta ton crude palm oil (CPO). Perhitungannya ini didasarkan pada
asumsi bahwa moratorium akan mengurangi ekspansi sawit seluas 250.000
hektar per tahun. Itu berarti akan ada 500.000 ha penundaan pembukaan
kelapa sawit karena Inpres No 10/2011 berlaku selama dua tahun. Setiap
satu hektar tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan 4 juta ton.
Ini bertolak belakang dengan rencana pemerintah yang
membuat target 40 juta ton CPO pada tahun 2020. (2) moratorium juga
berdampak pada hilangnya angkatan kerja baru sebesar 100.000 orang lebih
dari pembukaan perkebunan kelapa sawit. Di mana tiap 5 hektar lahan
sawit membutukan minimal satu orang tenaga kerja. Ini berarti pemerintah
tidak mendukung kebijakannya sendiri untuk mengurangi jumlah angka
pengangguran. (3) kalangan pengusaha sawit menuduh pemerintah telah
melakukan praktik diskriminatif karena memperbolehkan unit usaha ekonomi
lainnya beroperasi di hutan primer dan lahan gambut. Seharusnya,
pemerintah berlaku adil bagi semua pelaku investasi. Lebih jauh, pihak
pengusaha sawit menganggap pemerintah takut akan semakin banyaknya
laporan kampanye hitam dari kalangan aktivis lingkungan jika industri
sawit diperkenankan melakukan kegiatan ekonomi di kawasan hutan primer
dan lahan gambut.
Artinya, pemerintah lebih mengakomodasi kepentingan
pihak luar daripada merangkul pelaku industri sawit yang jelas-jelas
berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Perlu
diketahui, di tahun 2009 saja, dari perdagangan CPO, Indonesia
mendapatkan 10 miliar dolar. (4) penolakan juga dikarenakan inpres ini
akan bertabrakan dengan regulasi yang sudah ada sebelumnya seperti
Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Keputusan Presiden No
32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan Permentan No 14
Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budi Daya Kelapa Sawit
yang membolehkan eksplorasi lahan gambut dengan kedalaman kurang dari
tiga meter.
Kemudian, adapun yang menjadi alasan kelompok aktivis
dan LSM lingkungan menolak Inpres No 10/2011 disebabkan, (1) kebijakan
moratorium tidak sepenuh hati untuk mengurangi gas emisi karbon. Hal ini
dapat dilihat dari isi Inpres No 10/2011 yang ternyata memberikan
pengecualian tehadap kegiatan ekonomi yang telah mendapatkan
perpanjangan ijin. Dicurigai, selama penundaan terbitnya inpres ini,
banyak pengusaha sawit yang telah melakukan perpanjangan ijin usahanya.
Itu artinya, moratorium sendiri telah kecolongan start. (2) inpres ini
tidak berlaku di semua kawasan hutan mulai dari hutan primer, lahan
gambut, dan hutan sekunder.
Pemerintah masih mengijinkan pelaku usaha ekonomi
untuk melakukan eksplorasi di hutan sekunder seperti hutan yang sudah
rusak. Seharusnya hutan rusak, baik akibat illegal logging maupun
kebakaran, harus direhabilitasi untuk dikembalikan ke fungsi awalnya.
Bukan justru diperbolehkan sebagai kawasan kegiatan ekonomi. (3) niat
pemerintah Indonesia menerima moratorium lebih dikarenakan kepentingan
bisnis semata. Di mana pemerintah akan banyak mendapatkan kucuran dana
dari negara-negara maju. Dan dikuatirkan, dukungan dana ini justru akan
menjadi ladang baru untuk korupsi, baik di tingkat nasional maupun di
daerah. Akibatnya, rencana pengurangan gas emisi kaca pun menjadi
kamuflase saja.
Mengawal Inpres
Terlepas dari banyaknya sikap pro dan kontra, sikap
bijak yang perlu kita kedepankan adalah mengawal dengan serius
implementasi Inpres No 10/2011 di lapangan. Semangat pemerintah yang
akan menindak tegas bagi mereka yang tidak melaksanakan isi inpres ini
perlu didukung. Terutama jika inpres ini disalahgunakan menjadi tindakan
korupsi. Bahkan, pemerintah sudah bersiap untuk menggandeng Mahkamah
Konstitusi (MK) untuk mengadili perkara korupsi bagi pejabat yang
memanfaatkan inpres sebagai media korupsi baru.
Tentu saja, kita juga perlu mengawal pemerintah agar
benar-benar serius menerapkan inpres ini dua tahun ke depan. Termasuk
memonitor penggunaan dana 1 miliar dolar dari pemerintah Norwegia. Untuk
itu, pemerintah harus pro aktif melakukan sosialisasi inpres ini sampai
ke tingkat daerah, tidak hanya bagi pejabat pemerintah, namun juga
terhadap masyarakat, akademisi, dan aktivis lingkungan. Pemerintah harus
melibatkan semua pihak untuk berpartisipasi aktif dalam menurunkan
emisi karbon. Karena mustahil pemerintah dapat mengerjakan ini
sendirian.
Di sisi lain, pemerintah juga harus berani memberikan
peringatan keras bagi negara-negara industri untuk menindak tegas
investor asing dari negaranya masing-masing yang turut memberikan
kontribusi atas terjadinya kerusakan lingkungan di Indonesia. Jangan
sampai terkesan pemerintah hanya membutuhkan dana dari luar tapi
membiarkan investor asing terus merusak kelestarian ekologi nasional.
Dengan kata lain, penurunan gas emisi karbon sejatinya menjadi tanggung
jawab seluruh dunia bukan, bukan hanya beban negara-negara berkembang
seperti yang terjadi selama ini. Kita tentunya membutuhkan bumi yang
sehat. Karena kita akan mewariskan generasi selanjutnya di bumi ini.***
Penulis aktif di NGO Lentera Rakyat (Bergerak di Bidang Pendidikan dan Pengorganisasian Buruh Perkebunan).
sumber :http://www.analisadaily.com/index.phpoption=com_content&view=article&id=97681:menyoal inpres-no-102011&catid=78:umum&Itemid=139
Tidak ada komentar:
Posting Komentar