Oleh : Djoko Susilo
Dubes RI di Swiss
Padang Ekspres • Senin, 23/05/2011 09:31 WIB • 40 klik
WISMA Indonesia, yang merupakan kediaman resmi duta
besar RI untuk Swiss, terletak di Desa (Gemeinde) Gumligen, di pinggiran
Kota Bern. Banyak tamu yang datang sering bertanya keheranan, bagaimana
di negara maju seperti Swiss, masih ada lahan pertanian dan peternakan
yang luas. Maka, secara guyon saya sering sampaikan kepada teman-teman
dari Jakarta bahwa tetangga saya hanya sapi yang jumlahnya puluhan yang
dimiliki satu keluarga, Hans Guertsner.
Setiap pagi saya bangun tidur dan membuka pintu serta jendela wisma,
hawa segar campur bau sapi dan tanaman pasti menyapa. Karena itu, saya
selalu memperingatkan teman-teman dari Indonesia yang akan mampir ke
wisma dan apalagi menginap agar jangan kaget kalau ”bau sapi”. Sapi-sapi
tersebut merumput bebas dari pagi sampai petang tanpa ada yang
mengawasi. Pada jam-jam tertentu, mereka antre untuk diperah susunya
yang langsung diproses ke pabrik, baik untuk dairy products maupun untuk
produk lain, seperti cheese, fondue, raclet, dan lain-lain makanan
Swiss.
Lahan pertanian di depan wisma, selain untuk peternakan puluhan sapi,
ditujukan untuk berbagai macam tanaman. Ada yang mengkhususkan menanam
hortikultura, ada yang menanam jagung, gandum, bunga matahari, dan
sebagainya. Yang jelas, mereka tidak akan pernah menanam tanaman yang
sama di lahan yang sama secara berturut-turut.
Katakanlah kalau mereka mempunyai tanah 2 hektare. Biasanya, lahan itu
akan dibagi dalam empat bagian. Satu bagian ditanami gandum, satu bagian
jagung, satu bagian hortikultura, dan bagian lainnya bunga matahari.
Musim tanam berikutnya, mereka menggeser lokasi sehingga satu plot akan
kembali ditanami tanaman yang sama setelah empat kali musim tanam.
Dengan demikian, tanpa menggunakan obat kimia, petani Swiss sudah
menghindari terjadinya serangan hama.
Untuk menjadi petani, mereka harus mengikuti semacam sekolah atau kursus
tertentu. Saya punya kenalan, Mbak Atik, asal Klaten, yang kawin dengan
petani Swiss di kanton Fribroug. Ketika tiba di Swiss, dia harus
belajar dulu sekitar dua tahun untuk mempelajari cara bertani yang
benar. Suaminya memang anak petani dan memiliki tanah yang lumayan luas,
sekitar 32 hektare. Tanah seluas itu hanya digarap Mbak Atik dan
suaminya, dibantu dua anaknya, dan kadang-kadang saja mengupah tetangga.
Mungkin banyak yang akan bilang, pantas saja petani Swiss kaya karena
lahannya sangat luas. Lahan pertanian di Swiss sangat luas karena memang
terdapat kebijaksanaan perlindungan pemerintah terhadap bidang
pertanian yang nyata. Ketentuan pertama ialah tidak boleh adanya petani
berdasi. Yaitu, orang-orang kota yang memiliki duit dan membeli lahan
untuk disewakan atau dikerjakan dengan mengupah orang lain.
Dengan kata lain, lahan pertanian hanya boleh dimiliki dan diusahakan
oleh petani yang terjun sendiri mengolah tanahnya. Titik. Untuk
menghindari penyusutan lahan, lahan pertanian juga dilarang
dikaveling-kaveling kecil. Artinya, andaikata saya memiliki lahan 10
hektare dan anak saya lima orang, saya tidak boleh mewariskannya dengan
mengaveling-ngaveling masing-masing 2 hektare untuk setiap anak. Tanah
harus untuh 10 hektare agar efisien menggunakan mesin dan anggota
keluarga yang tidak bekerja dari pertanian mendapat saham dari
warisannya. Atau bisa juga anak yang tidak bekerja di pertanian menjual
haknya kepada saudaranya yang bertani.
Jika tidak ada di antara anak-anak itu yang meneruskan usaha pertanian
bapaknya, tanah tersebut harus dijual secara keseluruhan kepada petani
lain. Dengan demikian, tanah tidak akan pernah terpecah-pecah dan
apalagi berubah menjadi pabrik, perumahan, dan lain-lain kegiatan
nonpertanian. Bagi pemerintah Swiss, ketahanan pangan sama pentingnya
dengan ketahanan militer yang produksinya secara nasional harus dijaga
dan dilindungi. Menurut Pak Hans Guertsner, sebagai petani, tugasnya
hanya mengolah tanah, menanam, memelihara, dan memanen. Soal penjualan,
sudah ada yang mengurus, yakni melalui koperasi. Di Swiss ada jaringan
bisnis terkenal bernama Co-op (koperasi), yaitu seorang anggota hanya
boleh punya satu saham.
Koperasi itu bermerek dagang Coop, berbisnis layaknya supermarket di
Indonesia. Bukan hanya itu, mereka juga masuk bisnis perbankan,
distribusi minyak, asuransi dan lain-lain. Wajar ketika raja hypermarket
Carrefour dari Perancis mencoba masuk pasar Swiss, mereka melawan dan
raja retail dari Perancis tersebut kalah total. Sekarang tidak ada satu
pun ritel asing di Swiss. Kalaupun ada, itu sangat kecil seperti
jaringan Aldi dari Jerman.
Mengapa produk pertanian Swiss bisa jadi raja di rumah sendiri? Pertama,
kebijaksanaan pemerintah melindungi pertanian domestik. Kedua, ada
subsidi dalam bidang pertanian. Ketiga, sikap konsumen Swiss cenderung
memilih produk domestik, meski harganya sedikit lebih mahal. Contoh,
telur dari Spanyol atau Italia bisa 50 sen lebih murah. Demikian juga
stroberi, apel, wine, anggur, dan produk pertanian lainnya.
”Kami beli produk Swiss karena jelas akan lebih fresh, jarang pakai
pestisida. Jadi, lebih sehat dan itu membantu petani sendiri,” kata
Bruno, teman saya. Memang pola konsumsi orang Swiss berbeda dengan
Amerika atau Inggris yang suka berbelanja dengan menyetok barang. Jarang
sekali orang Swiss beli telur sampai satu kilogram, meski untuk
keluarga. Karena itu, di supermarket, dus telur paling banyak berisi
empat butir, bukan satu lusin seperti di Jakarta. Beli pisang hanya dua
buah, bukan satu sisir atau apalagi sampai satu tandan. Artinya, mereka
hanya beli barang yang diperlukan untuk satu dua hari saja. Oleh karena
itu, hampir semua rumah tangga Swiss memiliki kulkas yang sangat kecil.
Sebab, mereka tidak biasa menumpuk dan menyetok makanan dalam jumlah
besar.
Ciri orang Swiss lainnya ialah mereka akan mengonsumsi barang yang
diproduksinya melebihi daripada bangsa lainnya. Misalnya, Swiss terkenal
karena produk cokelat olahannya. Mereka pun konsekuen mengonsumsinya.
Karena itu, orang Swiss salah satu pengonsumsi cokelat tertinggi di
dunia dengan rata-rata per tahun menghabiskan sekitar 7,6 kg cokelat per
orang. Begitu juga, produk cheese-nya telah mendunia. Mereka mempunyai
tingkat konsumsi yang lumayan tinggi (20 kg per orang per tahun),
sedangkan konsumsi susu rata-rata 112,5 liter per orang per tahun. Mari
kita tengok kondisi daerah penghasil susu di Indonesia. Daerah kelahiran
saya, Kabupaten Boyolali, dikenal sebagai kota susu. Saking bangganya
dengan sapi perah, di pintu gerbang memasuki Kota Boyolali dipajang
patung sapi perah.
Begitu pula, daerah mertua saya, Kabupaten Pasuruan, dikenal sebagai
daerah penghasil susu terbesar di Jawa Timur. Bahkan, Nestle, perusahaan
Swiss, memiliki pabrik pengolahan susu terbesar di Indonesia di Kejayan
dengan kapasitas produksi bisa 1,4 juta liter per hari. Sebagian dari
susu yang diproses Nestle tersebut masih diimpor karena kualitas susu
lokal kurang memadai. Itulah sebabnya, saya mendorong Nestle mengadakan
workshop peningkatan kualitas mutu susu sapi di Jawa Timur. ”Baik, kami
bersedia, asal ada dukungan dari pemerintah,” kata MrVan Dyk, wakil
presiden Nestle, ketika saya temui awal Januari lalu.
Namun, workshop atau apa pun kegiatan sejenis tidak akan mampu
menyejahterakan peternak dan petani jika pemerintah dan masyarakat tidak
ikut mendukung. Hal yang paling simpel, yakni mengimbau pelajar agar
minum susu hasil petani setempat dan bukan mengonsumsi soft drink
bikinan Amerika, tidak pernah dilakukan oleh pemerintah kabupaten dan
dinas pendidikan. Memang aneh, kita bisa beli minuman berkarbonasi yang
seliternya bisa mencapai Rp 5.500, tetapi enggan membeli susu yang harga
per liternya lebih murah.
Juga ironi sekali, banyak orang, termasuk keluarga miskin, sehari bisa
menghabiskan sebungkus rokok, tetapi tidak mau membeli susu yang
menyehatkan. Di tingkat nasional, beberapa tahun lalu, pemerintah pusat
pernah menghapuskan bea masuk untuk susu impor yang berakibat banyak
peternak susu sapi kelimpungan karena tidak bisa bersaing dengan susu
impor dari New Zealand dan Australia. Memang produksi susu per sapi di
Indonesia masih rendah. Seekor sapi bisa menghasilkan 12–13 liter per
hari saja sudah bagus. Bandingkan dengan sapi di Swiss yang rata-rata
menghasilkan 25 liter per hari. Lebih payah lagi, ada petani kita yang
curang. Misalnya, mencampur susu dengan santan atau air yang tentu saja
merusak kualitas.
Andaikata sebagian dana APBD dialokasikan untuk menyubsidi pembelian
susu, saya kira tidak akan ada yang keberatan. Lebih baik dana APBD
dialokasikan untuk menyubsidi susu anak-anak sekolah daripada dihabiskan
untuk pelesiran atau studi banding dengan program yang kurang jelas.
Jika kebetulan saya sedang jalan-jalan ke supermarket, saya sering
mengelus dada. Sebab, saya lantas teringat jika mampir di toko buah di
Jakarta atau daerah lainnya di Indonesia, sungguh sangat sulit mencari
buah lokal. Padahal, di masa kecil banyak sekali buah lokal yang mudah
ditemukan di pasar. Sekarang bukan hanya mal, plaza, dan pasar modern
yang sudah diserbu buah dan sayur impor, bahkan pedagang buah kaki lima
pun sudah menjajakan barang impor. Maka, kita selalu defisit dan
ketahanan pangan bisa terancam. (*)
[ Red/Redaksi_ILS ]
http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=373