Selamat Datang di Blog Sylva Indonesia PC. UNHAS. Untuk Kawan-kawan anggota dan pengurus yang ingin memasukkan tulisan agar menyerahkan tulisannya kepada saudara La Ode Muh. Ikbal atau Yayat Hidayat Syam

Labels

Rabu, 22 Juni 2011

UNDP Bakal Mengelola Dana REDD+ Indonesia

Jakarta

| 22:24 Thu, 21 Oct 2010

Jurnas.com | BADAN PBB untuk Program Pembangunan (UNDP) ditunjuk untuk mengelola dana hibah sebesar US$30 juta dari Norwegia untuk program pengurangan emisi karbon dari penebangan dan degradasi hutan (REDD+) Indonesia.
Dana sebesar itu merupakan pencairan tahap pertama dari total komitmen yang dijanjikan sebesar US$1 miliar. “Kita sedang finalisasi peraturan dengan UNDP,” kata Sekretaris Dewan Nasional Perubahan Iklim Agus Purnomo, di Jakarta, Kamis (21/10).
Menurutnya, dana sebesar US$30 juta tersebut belum akan digunakan untuk kegiatan yang berhubungan langsung dengan REDD+. Melainkan untuk kegiatan yang berhubungan dengan persiapan pembentukan lembaga pengelola dana REDD+.
Soalnya, lembaga itu nantinya tidak hanya mengelola dana dari Norwegia semata. ”Tahap berikutnya akan dibentuk lembaga hibrid yang independen,” kata Agus Norwegia menjadi pihak yang berkomitmen untuk membantu Indonesia dalamupaya mengurangi emisi karbon.
Oktober lalu, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menyatakan komitmen untuk mengurangi emisi karbonIndonesia hingga 26 persen pada 2020. Ini merupakan komitmen terbesar yang pernah ditegaskan oleh negara berkembang.
Penulis: Mochamad Wahyudi
http://www.jurnas.com/news/11633/UNDP_Bakal_Mengelola_Dana_REDD+_Indonesia/158/Ekonomi/Ekonomi
READ MORE - UNDP Bakal Mengelola Dana REDD+ Indonesia

Nasionalisme yang Bela Petani


Oleh : Djoko Susilo
Dubes RI di Swiss
Padang Ekspres • Senin, 23/05/2011 09:31 WIB • 40 klik


WISMA Indonesia, yang merupakan kediaman resmi duta besar RI untuk Swiss, terletak di Desa (Gemeinde) Gumligen, di pinggiran Kota Bern. Banyak tamu yang datang sering bertanya keheranan, bagaimana di negara maju seperti Swiss, masih ada lahan pertanian dan peternakan yang luas. Maka, secara guyon saya sering sampaikan kepada teman-teman dari Jakarta bahwa tetangga saya hanya sapi yang jumlahnya puluhan yang dimiliki satu keluarga, Hans Guertsner.
Setiap pagi saya bangun tidur dan membuka pintu serta jendela wisma, hawa segar campur bau sapi dan tanaman pasti menyapa. Karena itu, saya selalu memperingatkan teman-teman dari Indonesia yang akan mampir ke wisma dan apalagi menginap agar jangan kaget kalau ”bau sapi”. Sapi-sapi tersebut merumput bebas dari pagi sampai petang tanpa ada yang mengawasi. Pada jam-jam tertentu, mereka antre untuk diperah susunya yang langsung diproses ke pabrik, baik untuk dairy products maupun untuk produk lain, seperti cheese, fondue, raclet, dan lain-lain makanan Swiss.
Lahan pertanian di depan wisma, selain untuk peternakan puluhan sapi, ditujukan untuk berbagai macam tanaman. Ada yang mengkhususkan menanam hortikultura, ada yang menanam jagung, gandum, bunga matahari, dan sebagainya. Yang jelas, mereka tidak akan pernah menanam tanaman yang sama di lahan yang sama secara berturut-turut.
Katakanlah kalau mereka mempunyai tanah 2 hektare. Biasanya, lahan itu akan dibagi dalam empat bagian. Satu bagian ditanami gandum, satu bagian jagung, satu bagian hortikultura, dan bagian lainnya bunga matahari. Musim tanam berikutnya, mereka menggeser lokasi sehingga satu plot akan kembali ditanami tanaman yang sama setelah empat kali musim tanam. Dengan demikian, tanpa menggunakan obat kimia, petani Swiss sudah menghindari terjadinya serangan hama.
Untuk menjadi petani, mereka harus mengikuti semacam sekolah atau kursus tertentu. Saya punya kenalan, Mbak Atik, asal Klaten, yang kawin dengan petani Swiss di kanton Fribroug. Ketika tiba di Swiss, dia harus belajar dulu sekitar dua tahun untuk mempelajari cara bertani yang benar. Suaminya memang anak petani dan memiliki tanah yang lumayan luas, sekitar 32 hektare. Tanah seluas itu hanya digarap Mbak Atik dan suaminya, dibantu dua anaknya, dan kadang-kadang saja mengupah tetangga.
Mungkin banyak yang akan bilang, pantas saja petani Swiss kaya karena lahannya sangat luas. Lahan pertanian di Swiss sangat luas karena memang terdapat kebijaksanaan perlindungan pemerintah terhadap bidang pertanian yang nyata. Ketentuan pertama ialah tidak boleh adanya petani berdasi. Yaitu, orang-orang kota yang memiliki duit dan membeli lahan untuk disewakan atau dikerjakan dengan mengupah orang lain.
Dengan kata lain, lahan pertanian hanya boleh dimiliki dan diusahakan oleh petani yang terjun sendiri mengolah tanahnya. Titik. Untuk menghindari penyusutan lahan, lahan pertanian juga dilarang dikaveling-kaveling kecil. Artinya, andaikata saya memiliki lahan 10 hektare dan anak saya lima orang, saya tidak boleh mewariskannya dengan mengaveling-ngaveling masing-masing 2 hektare untuk setiap anak. Tanah harus untuh 10 hektare agar efisien menggunakan mesin dan anggota keluarga yang tidak bekerja dari pertanian mendapat saham dari warisannya. Atau bisa juga anak yang tidak bekerja di pertanian menjual haknya kepada saudaranya yang bertani.
Jika tidak ada di antara anak-anak itu yang meneruskan usaha pertanian bapaknya, tanah tersebut harus dijual secara keseluruhan kepada petani lain. Dengan demikian, tanah tidak akan pernah terpecah-pecah dan apalagi berubah menjadi pabrik, perumahan, dan lain-lain kegiatan nonpertanian. Bagi pemerintah Swiss, ketahanan pangan sama pentingnya dengan ketahanan militer yang produksinya secara nasional harus dijaga dan dilindungi. Menurut Pak Hans Guertsner, sebagai petani, tugasnya hanya mengolah tanah, menanam, memelihara, dan memanen. Soal penjualan, sudah ada yang mengurus, yakni melalui koperasi. Di Swiss ada jaringan bisnis terkenal bernama Co-op (koperasi), yaitu seorang anggota hanya boleh punya satu saham.
Koperasi itu bermerek dagang Coop, berbisnis layaknya supermarket di Indonesia. Bukan hanya itu, mereka juga masuk bisnis perbankan, distribusi minyak, asuransi dan lain-lain. Wajar ketika raja hypermarket Carrefour dari Perancis mencoba masuk pasar Swiss, mereka melawan dan raja retail dari Perancis tersebut kalah total. Sekarang tidak ada satu pun ritel asing di Swiss. Kalaupun ada, itu sangat kecil seperti jaringan Aldi dari Jerman.
Mengapa produk pertanian Swiss bisa jadi raja di rumah sendiri? Pertama, kebijaksanaan pemerintah melindungi pertanian domestik. Kedua, ada subsidi dalam bidang pertanian. Ketiga, sikap konsumen Swiss cenderung memilih produk domestik, meski harganya sedikit lebih mahal. Contoh, telur dari Spanyol atau Italia bisa 50 sen lebih murah. Demikian juga stroberi, apel, wine, anggur, dan produk pertanian lainnya.
”Kami beli produk Swiss karena jelas akan lebih fresh, jarang pakai pestisida. Jadi, lebih sehat dan itu membantu petani sendiri,” kata Bruno, teman saya. Memang pola konsumsi orang Swiss berbeda dengan Amerika atau Inggris yang suka berbelanja dengan menyetok barang. Jarang sekali orang Swiss beli telur sampai satu kilogram, meski untuk keluarga. Karena itu, di supermarket, dus telur paling banyak berisi empat butir, bukan satu lusin seperti di Jakarta. Beli pisang hanya dua buah, bukan satu sisir atau apalagi sampai satu tandan. Artinya, mereka hanya beli barang yang diperlukan untuk satu dua hari saja. Oleh karena itu, hampir semua rumah tangga Swiss memiliki kulkas yang sangat kecil. Sebab, mereka tidak biasa menumpuk dan menyetok makanan dalam jumlah besar.
Ciri orang Swiss lainnya ialah mereka akan mengonsumsi barang yang diproduksinya melebihi daripada bangsa lainnya. Misalnya, Swiss terkenal karena produk cokelat olahannya. Mereka pun konsekuen mengonsumsinya. Karena itu, orang Swiss salah satu pengonsumsi cokelat tertinggi di dunia dengan rata-rata per tahun menghabiskan sekitar 7,6 kg cokelat per orang. Begitu juga, produk cheese-nya telah mendunia. Mereka mempunyai tingkat konsumsi yang lumayan tinggi (20 kg per orang per tahun), sedangkan konsumsi susu rata-rata 112,5 liter per orang per tahun. Mari kita tengok kondisi daerah penghasil susu di Indonesia. Daerah kelahiran saya, Kabupaten Boyolali, dikenal sebagai kota susu. Saking bangganya dengan sapi perah, di pintu gerbang memasuki Kota Boyolali dipajang patung sapi perah.
Begitu pula, daerah mertua saya, Kabupaten Pasuruan, dikenal sebagai daerah penghasil susu terbesar di Jawa Timur. Bahkan, Nestle, perusahaan Swiss, memiliki pabrik pengolahan susu terbesar di Indonesia di Kejayan dengan kapasitas produksi bisa 1,4 juta liter per hari. Sebagian dari susu yang diproses Nestle tersebut masih diimpor karena kualitas susu lokal kurang memadai. Itulah sebabnya, saya mendorong Nestle mengadakan workshop peningkatan kualitas mutu susu sapi di Jawa Timur. ”Baik, kami bersedia, asal ada dukungan dari pemerintah,” kata MrVan Dyk, wakil presiden Nestle, ketika saya temui awal Januari lalu.
Namun, workshop atau apa pun kegiatan sejenis tidak akan mampu menyejahterakan peternak dan petani jika pemerintah dan masyarakat tidak ikut mendukung. Hal yang paling simpel, yakni mengimbau pelajar agar minum susu hasil petani setempat dan bukan mengonsumsi soft drink bikinan Amerika, tidak pernah dilakukan oleh pemerintah kabupaten dan dinas pendidikan. Memang aneh, kita bisa beli minuman berkarbonasi yang seliternya bisa mencapai Rp 5.500, tetapi enggan membeli susu yang harga per liternya lebih murah.
Juga ironi sekali, banyak orang, termasuk keluarga miskin, sehari bisa menghabiskan sebungkus rokok, tetapi tidak mau membeli susu yang menyehatkan. Di tingkat nasional, beberapa tahun lalu, pemerintah pusat pernah menghapuskan bea masuk untuk susu impor yang berakibat banyak peternak susu sapi kelimpungan karena tidak bisa bersaing dengan susu impor dari New Zealand dan Australia. Memang produksi susu per sapi di Indonesia masih rendah. Seekor sapi bisa menghasilkan 12–13 liter per hari saja sudah bagus. Bandingkan dengan sapi di Swiss yang rata-rata menghasilkan 25 liter per hari. Lebih payah lagi, ada petani kita yang curang. Misalnya, mencampur susu dengan santan atau air yang tentu saja merusak kualitas.
Andaikata sebagian dana APBD dialokasikan untuk menyubsidi pembelian susu, saya kira tidak akan ada yang keberatan. Lebih baik dana APBD dialokasikan untuk menyubsidi susu anak-anak sekolah daripada dihabiskan untuk pelesiran atau studi banding dengan program yang kurang jelas.
Jika kebetulan saya sedang jalan-jalan ke supermarket, saya sering mengelus dada. Sebab, saya lantas teringat jika mampir di toko buah di Jakarta atau daerah lainnya di Indonesia, sungguh sangat sulit mencari buah lokal. Padahal, di masa kecil banyak sekali buah lokal yang mudah ditemukan di pasar. Sekarang bukan hanya mal, plaza, dan pasar modern yang sudah diserbu buah dan sayur impor, bahkan pedagang buah kaki lima pun sudah menjajakan barang impor. Maka, kita selalu defisit dan ketahanan pangan bisa terancam. (*)


[ Red/Redaksi_ILS ]
http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=373
READ MORE - Nasionalisme yang Bela Petani

Menyoal Inpres No. 10/2011

Oleh : Amin Siahaan
Setelah tertunda hampir lima bulan, akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Instruksi Presiden No. 10/2011 tentang Penundaan Pemberiaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Peraturan ini merupakan implementasi asas legal dari Kesepakatan Oslo antara Indonesia dengan pemerintah Norwegia tentang pengurangan emisi karbon. Sebagai kompensasinya, Norwegia bersedia mengucurkan dana sebesar 1 miliar dolar untuk mendukung keberhasilan perjanjian ini. Kesepakatan Oslo ditandatangani pada 26 Mei 2010 ketika presiden SBY melakukan kunjungan ke Norwegia tahun lalu untuk menghadiri Oslo Climate and Forest Conference.
Inpres yang ditandatangani SBY 20 Mei lalu itu secara tegas memerintahkan mulai dari menteri sampai bupati/walikota untuk menunda pemberian izin baru di kawasan hutan primer dan lahan gambut. Namun, instruksi presiden ini tidak berlaku bagi empat kegiatan ekonomi yang mendapatkan pengecualian yaitu, (1) kegiatan ekonomi yang sebelumnya telah mendapatkan izin prinsip dari menteri kehutanan; (2) kegiatan ekonomi vital seperti geothermal, minyak dan gas bumi, listrik, padi, dan tebu; (3) perpanjangan izin pemanfaatan hutan sepanjang izinnya masih berlaku, dan (4) untuk kegiatan restorasi ekosistem.
Pro dan Kontra
Sejak awal, kebijakan moratorium ini menimbulkan pro dan kontra. Kalangan yang mendukung rencana moratorim, mengatakan Indonesia tidak akan bekerja sendirian dalam mengurangi emisi gas karbon, terutama yang berasal dari pembukaan hutan untuk kegiatan ekonomi. Pengurangan gas emisi karbon adalah tanggung jawab bersama, mengingat hasil eksplorasi hutan Indonesia tidak dinikmati oleh Indonesia saja, tapi juga oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa. Selanjutnya, dengan moratorium Indonesia akan mendapatkan dana dari negara-negara industri, seperti Norwegia. Artinya, pemerintah tidak perlu lagi memikirkan dari mana pendanaan untuk pengurangan gas emisi karbon.
Sedangkan kelompok yang menolak terdiri dari dua yaitu, kalangan pengusaha, khususnya pengusaha kelapa sawit, dan, kedua, para aktivis dan LSM lingkungan. Pengusaha sawit menolak moratorium/inpres karena, (1) moratorium akan mengurangi jumlah produksi sawit nasional. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menyebutkan Indonesia akan kehilangan 2 juta ton crude palm oil (CPO). Perhitungannya ini didasarkan pada asumsi bahwa moratorium akan mengurangi ekspansi sawit seluas 250.000 hektar per tahun. Itu berarti akan ada 500.000 ha penundaan pembukaan kelapa sawit karena Inpres No 10/2011 berlaku selama dua tahun. Setiap satu hektar tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan 4 juta ton.
Ini bertolak belakang dengan rencana pemerintah yang membuat target 40 juta ton CPO pada tahun 2020. (2) moratorium juga berdampak pada hilangnya angkatan kerja baru sebesar 100.000 orang lebih dari pembukaan perkebunan kelapa sawit. Di mana tiap 5 hektar lahan sawit membutukan minimal satu orang tenaga kerja. Ini berarti pemerintah tidak mendukung kebijakannya sendiri untuk mengurangi jumlah angka pengangguran. (3) kalangan pengusaha sawit menuduh pemerintah telah melakukan praktik diskriminatif karena memperbolehkan unit usaha ekonomi lainnya beroperasi di hutan primer dan lahan gambut. Seharusnya, pemerintah berlaku adil bagi semua pelaku investasi. Lebih jauh, pihak pengusaha sawit menganggap pemerintah takut akan semakin banyaknya laporan kampanye hitam dari kalangan aktivis lingkungan jika industri sawit diperkenankan melakukan kegiatan ekonomi di kawasan hutan primer dan lahan gambut.
Artinya, pemerintah lebih mengakomodasi kepentingan pihak luar daripada merangkul pelaku industri sawit yang jelas-jelas berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Perlu diketahui, di tahun 2009 saja, dari perdagangan CPO, Indonesia mendapatkan 10 miliar dolar. (4) penolakan juga dikarenakan inpres ini akan bertabrakan dengan regulasi yang sudah ada sebelumnya seperti Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Keputusan Presiden No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan Permentan No 14 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budi Daya Kelapa Sawit yang membolehkan eksplorasi lahan gambut dengan kedalaman kurang dari tiga meter.
Kemudian, adapun yang menjadi alasan kelompok aktivis dan LSM lingkungan menolak Inpres No 10/2011 disebabkan, (1) kebijakan moratorium tidak sepenuh hati untuk mengurangi gas emisi karbon. Hal ini dapat dilihat dari isi Inpres No 10/2011 yang ternyata memberikan pengecualian tehadap kegiatan ekonomi yang telah mendapatkan perpanjangan ijin. Dicurigai, selama penundaan terbitnya inpres ini, banyak pengusaha sawit yang telah melakukan perpanjangan ijin usahanya. Itu artinya, moratorium sendiri telah kecolongan start. (2) inpres ini tidak berlaku di semua kawasan hutan mulai dari hutan primer, lahan gambut, dan hutan sekunder.
Pemerintah masih mengijinkan pelaku usaha ekonomi untuk melakukan eksplorasi di hutan sekunder seperti hutan yang sudah rusak. Seharusnya hutan rusak, baik akibat illegal logging maupun kebakaran, harus direhabilitasi untuk dikembalikan ke fungsi awalnya. Bukan justru diperbolehkan sebagai kawasan kegiatan ekonomi. (3) niat pemerintah Indonesia menerima moratorium lebih dikarenakan kepentingan bisnis semata. Di mana pemerintah akan banyak mendapatkan kucuran dana dari negara-negara maju. Dan dikuatirkan, dukungan dana ini justru akan menjadi ladang baru untuk korupsi, baik di tingkat nasional maupun di daerah. Akibatnya, rencana pengurangan gas emisi kaca pun menjadi kamuflase saja.
Mengawal Inpres
Terlepas dari banyaknya sikap pro dan kontra, sikap bijak yang perlu kita kedepankan adalah mengawal dengan serius implementasi Inpres No 10/2011 di lapangan. Semangat pemerintah yang akan menindak tegas bagi mereka yang tidak melaksanakan isi inpres ini perlu didukung. Terutama jika inpres ini disalahgunakan menjadi tindakan korupsi. Bahkan, pemerintah sudah bersiap untuk menggandeng Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengadili perkara korupsi bagi pejabat yang memanfaatkan inpres sebagai media korupsi baru.
Tentu saja, kita juga perlu mengawal pemerintah agar benar-benar serius menerapkan inpres ini dua tahun ke depan. Termasuk memonitor penggunaan dana 1 miliar dolar dari pemerintah Norwegia. Untuk itu, pemerintah harus pro aktif melakukan sosialisasi inpres ini sampai ke tingkat daerah, tidak hanya bagi pejabat pemerintah, namun juga terhadap masyarakat, akademisi, dan aktivis lingkungan. Pemerintah harus melibatkan semua pihak untuk berpartisipasi aktif dalam menurunkan emisi karbon. Karena mustahil pemerintah dapat mengerjakan ini sendirian.
Di sisi lain, pemerintah juga harus berani memberikan peringatan keras bagi negara-negara industri untuk menindak tegas investor asing dari negaranya masing-masing yang turut memberikan kontribusi atas terjadinya kerusakan lingkungan di Indonesia. Jangan sampai terkesan pemerintah hanya membutuhkan dana dari luar tapi membiarkan investor asing terus merusak kelestarian ekologi nasional. Dengan kata lain, penurunan gas emisi karbon sejatinya menjadi tanggung jawab seluruh dunia bukan, bukan hanya beban negara-negara berkembang seperti yang terjadi selama ini. Kita tentunya membutuhkan bumi yang sehat. Karena kita akan mewariskan generasi selanjutnya di bumi ini.***
Penulis aktif di NGO Lentera Rakyat (Bergerak di Bidang Pendidikan dan Pengorganisasian Buruh Perkebunan).

sumber :http://www.analisadaily.com/index.phpoption=com_content&view=article&id=97681:menyoal inpres-no-102011&catid=78:umum&Itemid=139
READ MORE - Menyoal Inpres No. 10/2011

Membedah Permenhut No 18 Tahun 2011 Tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan


Talk! hukumonline – discussion Membedah Permenhut No 18 Tahun 2011 Tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Selasa, 07 June 2011 Apakah Permenhut No 18 Tahun 2011 tersebut telah mengakomodir berbagai permasalahan seputar izin pinjam pakai kawasan hutan? 1 2 3 4 5 (0 votes, average: 0.0 out of 5) PDF Print E-mail Talks1hukumonline-discussion. PENDAFTARAN TELAH DITUTUP! Permasalahan pinjam pakai kawasan hutan menjadi masalah klasik dan sering menimbulkan permasalahan dalam prakteknya. Pengurusan izin pinjam pakai kawasan hutan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/MENHUT-II/2008 dirasakan oleh berbagai kalangan terlalu rumit dan memakan waktu yang lama. Oleh Karena itu, dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.18/MENHUT-II/2011 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang merevisi mengenai pengurusan izin pinjam pakai kawasan hutan diharapkan berbagai kekurangan dalan permasalahan yang ada dalam peraturan sebelumnya dapat diatasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah Permenhut No 18 Tahun 2011 tersebut telah mengakomodir berbagai permasalahan seputar izin pinjam pakai kawasan hutan? Sebelum mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut diatas, maka hal penting adalah melihat berbagai perubahan yang terdapat dalam peraturan tersebut. Permenhut No 18/2011 berusaha untuk menyesuaikan diri dengan UU No 4 Tahun 2009 mengenai Pertambangan. Hal ini terlihat dengan adanya perubahan dokumen persyaratan untuk pengajuan permohonan pinjam pakai kawasan kehutanan yang tidak lagi menggunakan KK/KP/PKP2B/SIPD/Perizinan/Perjanjian. Dalam Permenhut No 43/2008, setiap permohonan pinjam pakai kawasan hutan wajib dilengkapi oleh KK/KP/PKP2B/SIPD/Perizinan/Perjanjian lainnya, sementara dalamPermenhut No 18/2011, persyaratan administrasi tidak lagi berupa KK/KP/PKP2B/SIPD/Perizinan/Perjanjian melainkan berupa Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi (IUP Eksplorasi)/Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP Operasi Produksi). Di samping itu, Permenhut No. 18/2011 juga mengatur mengenai persyaratan teknis dan administrasi yang lebih mendetil dibandingkan dengan Permenhut No 43/2008. Di dalam Permenhut No 43/2008 hanya diatur bahwa dokumen persyaratan permohonan pinjam pakai kawasan hutan berupa KK/KP/PKP2B/SIPD/Perizinan/Perjanjian lainnya yang dilengkapi dengan beberapa dokumen seperti rencana kerja penggunaan kawasan hutan dilampiri dengan peta lokasi dan citra satelit terbaru, Rekomendasi Bupati/Walikota, AMDAL dan Pertimbangan teknis dari Direktur Utama Perum Perhutani, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Permenhut ini. Sementara di dalam Pasal 13-14 Permenhut No 18/2011, diatur secara rinci mengenai persyaratan teknis dan administrasi. Hal baru lainnya adalah Permenhut No 18/2011 mengatur jangka waktu penyelesaian permohonan lebih jelas dan tegas dibandingkan dengan Peraturan Menteri sebelumnya. Di dalam Pasal 15 Permenhut No 18/2011 disebutkan bahwa Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima permohonan memerintahkan kepada Direktur Jenderal Planologi Kehutanan untuk melakukan penilaian dan juga berkoordinasi dengan pihak terkait untuk meminta pertimbangan dan memberitahukan permohonan yang tidak memenuhi persyaratan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja. Bagi permohonan yang memenuhi persyaratan, maka dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja menyampaikan surat permintaan pertimbangan teknis ke Direktur Jenderal yang disebutkan dalam pasal tersebut. Hal ini menjelaskan bahwa Permenhut No 18/2011 berusaha untuk mengakomodir kelemahan peraturan sebelumnya yang cenderung memakan waktu yang lama. Permenhut No 18/2011 juga mengatur mengenai jangka waktu perpanjangan izin pinjam pakai kawasan hutan. Permenhut No 43/2008 hanya mengatur bahwa penggunaan izin pinjam pakai kawasan hutan dapat diperpanjang, sementara Permenhut No.18/2011 menegaskan bahwa perpanjangan izin pinjam pakai memiliki jangka waktu permohonan yang harus diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya izin untuk izin survei dan eksplorasi dan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya izin untuk izin diluar survei dan eksplorasi. Permenhut ini juga mengatur hal-hal lain yang lebih rinci dan mendetil mencakup pinjam pakai kawasn hutan untuk pertambangan, pemanfaatan kayu, lahan kompensasi dan sebagainya. Berbagai hal baru yang diatur sekilas dalam pembahasan diatas dan dalam Permenhut No 18/2011 ini kemudian menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya perubahan teknis dan prosedur izin pinjam pakai kehutanan dalam permenhut no 18/2011? Permasalahan apa saja yang sering muncul dalam praktek izin pinjam pakai kawasan kehutanan? Apakah perubahan dalam Permenhut tersebut mampu mengakomodir permasalahan yang ada? Bagaimana kaitannya dengan peraturan terkait lainnya, misalnya pertambangan? Untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan menyeluruh mengenai Peraturan terbaru mengenai ijin pinjam pakai kawasan hutan maka www.hukumonline.com bermaksud mengadakan Talk!hukumonline Discussion dengan tema: “Membedah Permenhut No 18 Tahun 2011 Tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan”, yang akan diselenggarakan: Hari/Tanggal: Kamis, 23 Juni 2011 Waktu: 13.30 – 16.00 WIB Tempat: Akset Law The Plaza Indonesia Multifunction Hall, Level 2, Jl. M. H. Thamrin Kav 28-30, Jakarta. Narasumber: Ir. Hudoyo M.M (Direktur Penggunaan Kawasan Hutan, Direktorat Planologi Kementrian Kehutanan Republik Indonesia) Arfidea D. Saraswati (Partner, Akset Law) Moderator : Andika Gunadarma Managing Director Hukumonline.com Acara ini didukung oleh : KEMENTERIAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA AKSET LAW (Arfidea, Kadri, Sahetapy-Engel, Tisnadisastra)
READ MORE - Membedah Permenhut No 18 Tahun 2011 Tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan