Selamat Datang di Blog Sylva Indonesia PC. UNHAS. Untuk Kawan-kawan anggota dan pengurus yang ingin memasukkan tulisan agar menyerahkan tulisannya kepada saudara La Ode Muh. Ikbal atau Yayat Hidayat Syam

Labels

Rabu, 22 Juni 2011

Nasionalisme yang Bela Petani


Oleh : Djoko Susilo
Dubes RI di Swiss
Padang Ekspres • Senin, 23/05/2011 09:31 WIB • 40 klik


WISMA Indonesia, yang merupakan kediaman resmi duta besar RI untuk Swiss, terletak di Desa (Gemeinde) Gumligen, di pinggiran Kota Bern. Banyak tamu yang datang sering bertanya keheranan, bagaimana di negara maju seperti Swiss, masih ada lahan pertanian dan peternakan yang luas. Maka, secara guyon saya sering sampaikan kepada teman-teman dari Jakarta bahwa tetangga saya hanya sapi yang jumlahnya puluhan yang dimiliki satu keluarga, Hans Guertsner.
Setiap pagi saya bangun tidur dan membuka pintu serta jendela wisma, hawa segar campur bau sapi dan tanaman pasti menyapa. Karena itu, saya selalu memperingatkan teman-teman dari Indonesia yang akan mampir ke wisma dan apalagi menginap agar jangan kaget kalau ”bau sapi”. Sapi-sapi tersebut merumput bebas dari pagi sampai petang tanpa ada yang mengawasi. Pada jam-jam tertentu, mereka antre untuk diperah susunya yang langsung diproses ke pabrik, baik untuk dairy products maupun untuk produk lain, seperti cheese, fondue, raclet, dan lain-lain makanan Swiss.
Lahan pertanian di depan wisma, selain untuk peternakan puluhan sapi, ditujukan untuk berbagai macam tanaman. Ada yang mengkhususkan menanam hortikultura, ada yang menanam jagung, gandum, bunga matahari, dan sebagainya. Yang jelas, mereka tidak akan pernah menanam tanaman yang sama di lahan yang sama secara berturut-turut.
Katakanlah kalau mereka mempunyai tanah 2 hektare. Biasanya, lahan itu akan dibagi dalam empat bagian. Satu bagian ditanami gandum, satu bagian jagung, satu bagian hortikultura, dan bagian lainnya bunga matahari. Musim tanam berikutnya, mereka menggeser lokasi sehingga satu plot akan kembali ditanami tanaman yang sama setelah empat kali musim tanam. Dengan demikian, tanpa menggunakan obat kimia, petani Swiss sudah menghindari terjadinya serangan hama.
Untuk menjadi petani, mereka harus mengikuti semacam sekolah atau kursus tertentu. Saya punya kenalan, Mbak Atik, asal Klaten, yang kawin dengan petani Swiss di kanton Fribroug. Ketika tiba di Swiss, dia harus belajar dulu sekitar dua tahun untuk mempelajari cara bertani yang benar. Suaminya memang anak petani dan memiliki tanah yang lumayan luas, sekitar 32 hektare. Tanah seluas itu hanya digarap Mbak Atik dan suaminya, dibantu dua anaknya, dan kadang-kadang saja mengupah tetangga.
Mungkin banyak yang akan bilang, pantas saja petani Swiss kaya karena lahannya sangat luas. Lahan pertanian di Swiss sangat luas karena memang terdapat kebijaksanaan perlindungan pemerintah terhadap bidang pertanian yang nyata. Ketentuan pertama ialah tidak boleh adanya petani berdasi. Yaitu, orang-orang kota yang memiliki duit dan membeli lahan untuk disewakan atau dikerjakan dengan mengupah orang lain.
Dengan kata lain, lahan pertanian hanya boleh dimiliki dan diusahakan oleh petani yang terjun sendiri mengolah tanahnya. Titik. Untuk menghindari penyusutan lahan, lahan pertanian juga dilarang dikaveling-kaveling kecil. Artinya, andaikata saya memiliki lahan 10 hektare dan anak saya lima orang, saya tidak boleh mewariskannya dengan mengaveling-ngaveling masing-masing 2 hektare untuk setiap anak. Tanah harus untuh 10 hektare agar efisien menggunakan mesin dan anggota keluarga yang tidak bekerja dari pertanian mendapat saham dari warisannya. Atau bisa juga anak yang tidak bekerja di pertanian menjual haknya kepada saudaranya yang bertani.
Jika tidak ada di antara anak-anak itu yang meneruskan usaha pertanian bapaknya, tanah tersebut harus dijual secara keseluruhan kepada petani lain. Dengan demikian, tanah tidak akan pernah terpecah-pecah dan apalagi berubah menjadi pabrik, perumahan, dan lain-lain kegiatan nonpertanian. Bagi pemerintah Swiss, ketahanan pangan sama pentingnya dengan ketahanan militer yang produksinya secara nasional harus dijaga dan dilindungi. Menurut Pak Hans Guertsner, sebagai petani, tugasnya hanya mengolah tanah, menanam, memelihara, dan memanen. Soal penjualan, sudah ada yang mengurus, yakni melalui koperasi. Di Swiss ada jaringan bisnis terkenal bernama Co-op (koperasi), yaitu seorang anggota hanya boleh punya satu saham.
Koperasi itu bermerek dagang Coop, berbisnis layaknya supermarket di Indonesia. Bukan hanya itu, mereka juga masuk bisnis perbankan, distribusi minyak, asuransi dan lain-lain. Wajar ketika raja hypermarket Carrefour dari Perancis mencoba masuk pasar Swiss, mereka melawan dan raja retail dari Perancis tersebut kalah total. Sekarang tidak ada satu pun ritel asing di Swiss. Kalaupun ada, itu sangat kecil seperti jaringan Aldi dari Jerman.
Mengapa produk pertanian Swiss bisa jadi raja di rumah sendiri? Pertama, kebijaksanaan pemerintah melindungi pertanian domestik. Kedua, ada subsidi dalam bidang pertanian. Ketiga, sikap konsumen Swiss cenderung memilih produk domestik, meski harganya sedikit lebih mahal. Contoh, telur dari Spanyol atau Italia bisa 50 sen lebih murah. Demikian juga stroberi, apel, wine, anggur, dan produk pertanian lainnya.
”Kami beli produk Swiss karena jelas akan lebih fresh, jarang pakai pestisida. Jadi, lebih sehat dan itu membantu petani sendiri,” kata Bruno, teman saya. Memang pola konsumsi orang Swiss berbeda dengan Amerika atau Inggris yang suka berbelanja dengan menyetok barang. Jarang sekali orang Swiss beli telur sampai satu kilogram, meski untuk keluarga. Karena itu, di supermarket, dus telur paling banyak berisi empat butir, bukan satu lusin seperti di Jakarta. Beli pisang hanya dua buah, bukan satu sisir atau apalagi sampai satu tandan. Artinya, mereka hanya beli barang yang diperlukan untuk satu dua hari saja. Oleh karena itu, hampir semua rumah tangga Swiss memiliki kulkas yang sangat kecil. Sebab, mereka tidak biasa menumpuk dan menyetok makanan dalam jumlah besar.
Ciri orang Swiss lainnya ialah mereka akan mengonsumsi barang yang diproduksinya melebihi daripada bangsa lainnya. Misalnya, Swiss terkenal karena produk cokelat olahannya. Mereka pun konsekuen mengonsumsinya. Karena itu, orang Swiss salah satu pengonsumsi cokelat tertinggi di dunia dengan rata-rata per tahun menghabiskan sekitar 7,6 kg cokelat per orang. Begitu juga, produk cheese-nya telah mendunia. Mereka mempunyai tingkat konsumsi yang lumayan tinggi (20 kg per orang per tahun), sedangkan konsumsi susu rata-rata 112,5 liter per orang per tahun. Mari kita tengok kondisi daerah penghasil susu di Indonesia. Daerah kelahiran saya, Kabupaten Boyolali, dikenal sebagai kota susu. Saking bangganya dengan sapi perah, di pintu gerbang memasuki Kota Boyolali dipajang patung sapi perah.
Begitu pula, daerah mertua saya, Kabupaten Pasuruan, dikenal sebagai daerah penghasil susu terbesar di Jawa Timur. Bahkan, Nestle, perusahaan Swiss, memiliki pabrik pengolahan susu terbesar di Indonesia di Kejayan dengan kapasitas produksi bisa 1,4 juta liter per hari. Sebagian dari susu yang diproses Nestle tersebut masih diimpor karena kualitas susu lokal kurang memadai. Itulah sebabnya, saya mendorong Nestle mengadakan workshop peningkatan kualitas mutu susu sapi di Jawa Timur. ”Baik, kami bersedia, asal ada dukungan dari pemerintah,” kata MrVan Dyk, wakil presiden Nestle, ketika saya temui awal Januari lalu.
Namun, workshop atau apa pun kegiatan sejenis tidak akan mampu menyejahterakan peternak dan petani jika pemerintah dan masyarakat tidak ikut mendukung. Hal yang paling simpel, yakni mengimbau pelajar agar minum susu hasil petani setempat dan bukan mengonsumsi soft drink bikinan Amerika, tidak pernah dilakukan oleh pemerintah kabupaten dan dinas pendidikan. Memang aneh, kita bisa beli minuman berkarbonasi yang seliternya bisa mencapai Rp 5.500, tetapi enggan membeli susu yang harga per liternya lebih murah.
Juga ironi sekali, banyak orang, termasuk keluarga miskin, sehari bisa menghabiskan sebungkus rokok, tetapi tidak mau membeli susu yang menyehatkan. Di tingkat nasional, beberapa tahun lalu, pemerintah pusat pernah menghapuskan bea masuk untuk susu impor yang berakibat banyak peternak susu sapi kelimpungan karena tidak bisa bersaing dengan susu impor dari New Zealand dan Australia. Memang produksi susu per sapi di Indonesia masih rendah. Seekor sapi bisa menghasilkan 12–13 liter per hari saja sudah bagus. Bandingkan dengan sapi di Swiss yang rata-rata menghasilkan 25 liter per hari. Lebih payah lagi, ada petani kita yang curang. Misalnya, mencampur susu dengan santan atau air yang tentu saja merusak kualitas.
Andaikata sebagian dana APBD dialokasikan untuk menyubsidi pembelian susu, saya kira tidak akan ada yang keberatan. Lebih baik dana APBD dialokasikan untuk menyubsidi susu anak-anak sekolah daripada dihabiskan untuk pelesiran atau studi banding dengan program yang kurang jelas.
Jika kebetulan saya sedang jalan-jalan ke supermarket, saya sering mengelus dada. Sebab, saya lantas teringat jika mampir di toko buah di Jakarta atau daerah lainnya di Indonesia, sungguh sangat sulit mencari buah lokal. Padahal, di masa kecil banyak sekali buah lokal yang mudah ditemukan di pasar. Sekarang bukan hanya mal, plaza, dan pasar modern yang sudah diserbu buah dan sayur impor, bahkan pedagang buah kaki lima pun sudah menjajakan barang impor. Maka, kita selalu defisit dan ketahanan pangan bisa terancam. (*)


[ Red/Redaksi_ILS ]
http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=373

Tidak ada komentar:

Posting Komentar